Friday, October 31, 2014

pemikiran Michel Foucault History and Power_teori sastra

Posted by faisal. Category:


michel Foucault

Sekilas Tentang Michel Foucault
Michel Foucault (15 October 1926-25 June 1984), filsuf Perancis dan sejarawan, Profesor Sejarah Sistem Pemikiran di College de France dari 1970 sampai kematiannya pada tahun 1984, merevolusi studi akademis tentang sejarah kedokteran, seksualitas, penality, etika negara dan klasik liberal, dan memberikan kontribusi kepada filsafat bahasa dan estetika.
Michel Foucault juga merupakan  pemikir post-post-strukturalis yang lahir di Poitiers pada tahun 1926. Ia memulai kariernya dengan bekerja di sebuah rumah sakit jiwa dan kemudian meluncurkan berbagai karya antara lain Les Mots et les Choses (1960) dan L’Archeologie de Savoir (1969). Pada April 1970 ia diangkat menjadi dosen di College de France. Ia memulai perkuliahannya dengan mengangkat judul “The Will to Truth” yang membahas tentang “praktek-praktek diskursif” dan ia mengatakan bahwa:
“ Kelompok-kelompok yang teratur (dalam praktek-praktek diskursif) sekarang tidak sesuai dengan karya-karya individu. Meskipun muncul dan untuk pertama kali menjadi jelas dalam salah satu dari mereka, ini berkembang cukup luas di luar mereka dan sering menyatukan berbagai kelompok. Akan tetapi mereka tidak selalu bersesuaian dengan yang biasa kita sebut ilmu atau disiplin, meskipun untuk sementara memiliki perbatasan yang sama”. 
Pemikiran Foucault Mengenai Sejarah(Historis)
Foucault tidak membahas  tentang ilmu sejarah dan filsafat sejarah. Dan ia pun lebih suka disebut sebagai “historical observer” (pengamat sejarah). Model befikir historisnya ini sesuai dengan apa yang sudah dilakukannya yaitu pendekatan arkeologi seperti dalam bukunya “Archeology of knowledge.” Tetapi, ‘pengamat sejarah’ ini pun mesti difahami dalam pengertian lain yang berbeda, bukan sejarah konvensional yang lurus. Foucault tidak suka pemahaman sejarah yang lazim, yang berorientasi pada masa lampau, yang sudah lewat, menyangkut hal-hal yang sudah mati dan kurang bermanfaat.
Foucault tidak secara khusus menulis tentang perkembangan sejarah, karakteristiknya dan kekuatan dibalik perkembangan historis. Dalam konsepnya tentang “history of the present,” ia sedikit menggagas bahwa sejarah harus ditulis dalam perspektif masa kini dan untuk kepentingan masa kini. Selebihnya, Foucault menulis tema-tema sentral dalam sejarah yang dilihatnya secara kritis.
 Pemikirannya tentang banyak hal dalam sejarah begitu penting, sehingga warna pemikiran Foucault bisa diidentifikasi untuk melakukan sebuah rekonstruksi atas pemikiran sejarahnya. Ia melihat sejarah sebagai tema-tema yang dilihat secara kritis, Tema-tema kritis penglihatannya adalah tentang “episteme” (sistem wacana), “power” (kekuasaan), sexuality (seks) dan lain-lain. Mengapa tema-tema ini menjadi menonjol dalam sistem pemikiran Foucault, karena pemahamannya terhadap tema-tema itu sangat orisinil, melabrak konvensi para filosof sebelumnya.
Bagi Foucault, sejarah itu bukanlah masa lalu melainkan bersifat masa kini (history of the present). Ia tidak tertarik dengan sejarah masa lalu yang konvensional, mengumpulkan data sebanyak-banyaknya untuk menggambarkan masa silam selengkap-lengkapnya. Dalam pembahasannya tentang present, Foucault menyebutkan bahwa studi sejarah harus selalu memiliki keterkaitan dengan masa kini. Hal itu jelas karena masa kini penuh dengan persoalan yang bisa dipecahkan dengan memahami sejarahnya pada masa silam. Dengan demikian, sebenarnya menulis sejarah itu untuk masa kini bukan untuk masa silam. Perspektfinya pun harus masa kini karena untuk kebutuhan masa kini. Tetapi Lechte mengungkapkan pertanyaan: “Jika masa kini mengendalikan perhatian dan minat sejarawan, apakah tidak berbahaya yaitu masa lalu akan mengarahkan masa kini?” Atas pertanyaan serupa ini, Foucault justru memberikan respon tentang bahayanya sejarah yang diusung oleh penganut idealisme:
“Sejarah akan mengarahkan masa kini bila ide tentang sebabnya (notion of cause) dominan masalah-masalah material, dan jika kontinuitas mendominasi diskontinuitas yaitu pada level pengungkapan praktis. Tetapi, kemudian, fakta bahwa masa kini selalu merupakan proses transformasi yang berarti bahwa masa lalu harus terus-menerus direevaluasi; menulis sejarah masa lalu adalah melihat sesuatu yang baru, sebagaimana para analis melihat peristiwa baru dalam biografi seseorang dalam rangka pengalaman psikoanalisis. Masa lalu, pada prinsipnya, mengungkapkan makna baru dalam konteks persitiwa-peristiwa baru. Hal ini akan menghindari kemungkinan adanya hubungan kausalitas yang sederhana yang diungkapkan antara masa lalu dan masa kini. Bahaya historisisme muncul ketika disadari bahwa masa lalu tidak bisa dipahami secara murni dalam konteksnya sendiri, karena itu, sejarah selalu adalah sejarah masa kini” (Lechte 1994 : 111).
Berkaitan dengan sejarah masa kini dan masa lalu, Foucault menggagas konsep tentang ‘geneologi’ (genealogy). Geneologi adalah sejarah yang ditulis untuk kepentingan-kepentingan masa kini yaitu hubungannya dengan komitmen terhadap masalah-masalah kontemporer. Sejarah perlu memasuki peristwa-peristiwa masa kini. Dengan demikian, geneologi adalah ‘sejarah efektif’ (effective history) yang ditulis sebagai keterlibatan kontemporer. Terinspirasi oleh Bachelard, Canguilhem dan Cavailles, Foucault menyebutkan bahwa sejarah selalu merupakan geneologi dan sebuah intervensi, dengan demikian kerangka pengetahuan dan model pemahamannya pun selalu berubah (Lechte, 112). Epsitemologi adalah yang mempelajari perubahan-perubahan ini sebagai “the grammar of knowledge production” dan diungkap melalui kerja sains, filsafat, seni dan literatur. Epistemologi juga adalah cara menghubungkan peristiwa-peristiwa material dengan fikiran atau ide.
Kunci pemikiran Foucault tentang sejarah adalah dalam istilah yang ia sebut sebagai “epistemee” (sistem wacana). Foucault dengan kritis melihat bagaimana ilmu-ilmu berkembang dalam sejarah secara sistemik (keseluruhan sistem berfikir) dalam suatu periode.
 Episteme akan berpengaruh terhadap ‘kebenaran’ melalui bahasa. “Discours,” “penalaran” atau “uraian” adalah bahasa yang sering diarahkan pada kebenaran. Discours ini terutama adalah penalaran ilmiah, tetapi bahasa sehari-hari seperti rapat-tapat, pidato politik dan diskusi-diskusi juga merupakan ‘discours.’ Bagi Foucault, masa silam terdiri dari discourse-discours ini yaitu lautan artikulasi, pembicaraan dan penalaran manusia, samudera kata, kalimat dan ungkapan bahasa yang dipakai dalam berbagai bentuk situasi dan kesempatan yang beraneka ragam dalam kehidupan sehari-hari (Ankersmit, 1987: 309).
Karakteristik Episteme
ada tiga karatkteristik episteme menurut Foucault:
1. Episteme menentukan bagaimana cara kita melihat dan mengalami kenyataan. Cara kita mengalami kenyataan menentukan bagaimana kita melihat kenyataan. Kenyataan itu subyektif dan sering tidak disadari. Dengan demikian, kenyataan itu tidak sederhana dan tidak begitu pasti seperti yang kita duga. Ini berarti, episteme tidak disadari oleh orang yang mengalaminya. Ketika episteme disadari, yaitu kita sadar melihat realitas dengan perspektif tertentu, maka akan terbukalah untuk melihat kenyataan dengan sudut pandang yang lain. Kalau ini terjadi maka menjadi dibuat-buat, kita melihat realitas pun dibuat-buat bukan oleh kesadaran asli sesungguhnya yang dimiliki seseorang.
2.  karakter episteme yang lain adalah adanya larangan-larangan, penyangkalan, pengabaian dan penolakan. Episteme itu mengendalikan dan mengontrol pengetahuan manusia melalui tiga macam pengecualian: tabu, kegilaan dan ketidakbenaran. Identitas episteme itu berada dalam hal-hal yang tidak disadari seperti dalam larangan. Dari sinilah episteme mengungkapan identitasnya yang asli. Karena itulah Foucault tertarik pada fenomena kegilaan (madness), kejahatan dan perilaku seksual yang aneh. Setiap zaman terdapat episteme-nya tersendiri tetapi tidak bisa dilacak karena tidak disadari itu. Tetapi walaupun tidak bisa dilacak (untracable) tetapi bisa disusun kembali dengan cara bertindak “dari luar ke dalam”: dari larangan ke yang benar, dari tabu ke kebolehan, dari kegilaan ke normalitas.
 3. dalam episteme terdapat hubungan antara bahasa dengan realitas. Umumnya, bahasa dipandang sebagai medium yang transparan, bahasa adalah refleksi dari kenyataan. Bagi Foucault tidak begitu. Bahasa selalu ditentukan oleh episteme yaitu bentuk-bentuk penggunaan bahasa yang dipakai untuk merumuskan kebenaran. “Sama seperti episteme mengatur dan menyaring pengetahuan kita mengenai kenyataan, demikian juga bahasa. Bahasa bukanlah medium yang transparan, bukanlah pencerminan dari kenyataan. Bahasa adalah alat yang dipergunakan episteme, guna mengatur dan menyusun kenyataan, sesuai dengan tabiat episteme itu sendiri” (Ankersmit, 312). Dengan demikian, Foucault melihat jelas bahwa bahasan dan pisteme tidak pasif melainkan aktif. Keduanya berusaha untuk merubah kenyataan bahkan menguasai kenyataan.

Pemikiran Michel Foucault Tentang Kekuasaan(power)
  Pemikiran Foucault tentang kekuasaan sangat penting, karena ia merelativisir segala sesuatu yang selama ini dianggap absolut.  Ia menempatkan kebenaran, rasio, pengetahuan, ilmu, wacana akademik, pengobatan, pendidikan, rumah sakit, manusia dan sebagainya dalam kerangka relasi dengan kekuasaan.  Kekuasaan menurutnya bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan relasi-relasi yang bekerja dalam ruang dan waktu tertentu.   Kekuasaan memproduksi kebenaran, karena kebenaran berada di dalam jaringan relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran dan menjaga kebenaran itu. Karena itu kebenaran tidak ada dengan sendirinya, dan tidak berada di luar kekuasaan, tetapi berada dalam kekuasaan itu.  Karena itu, kekuasaan adalah kebenaran.
Menurutnya kekuasaan sesungguhnya tidak sesederhana seperti apa yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial selama ini. Bagi Foucault kekuasaan itu menyebar dimana-mana (“power is omnipresent”), meresap dalam seluruh jalinan relasi-relasi sosial, kekuasaan tidak berpusat pada individu-individu melainkan bekerja, beroperasi dalam konstruksi pengetahuan, dalam perkembangan ilmu dan pendirian-pendirian lembaga. Karena ia menyebar dan bekerja mengendalikan banyak orang, komunitas, kelompok, kepentingan dan sebagainya, maka sifatnya menjadi produktif –bukan represif— dan memiliki kekuatan menormalisasikan hubungan-hubungan masyarakat.
  Menurut Foucault, hakekat kekuasaan telah berubah. Kekuasaan tidak lagi berada di tangan satu orang atau lembaga, tetapi tersebar luas dalam masyarakat dan cenderung ter-sembunyi.  Perubahan itu disebabkan oleh berubahnya fondasi kekuasaan. Dahulu fondasi kekuasaan adalah kehendak, baik kehendak raja atau rakyat, maka kekuasaan didapat me-lalui kumpulan kehendak, kesepakatakan, perserikatan, dan partai politik.  Kini, kekuasaan tidak lahir dari kehendak, tetapi melalui pengetahuan.  Pengetahuan tidak netral, tetapi politis,  menunjang dan memberi kekuasaan.  Tujuan ilmu pengetahuan sosial adalah mengetahui dan mengendalikan tingkah laku manusia. Foucault memahami ilmu pengetahuan sosial sebagai alat penguasaan manusia atas manusia, artinya untuk mengendalikan dan mempengaruhi putusan (tubuh dan jiwa orang lain).  Tubuh dilihat sebagai mesin hidup sebagai sumber daya dan tenaga kerja yang perlu dikendalikan dan dimanfaatkan guna kemajuan.
Dengan demikian, kekuasan bukanlah sebuah represi. Secara tidak langsung, pandangan Foucault ini adalah kritik terhadap Hobbes dan Locke (bahwa kekuasaan dijalankan melalui kekerasan atau kontrak sosial), terhadap Marx dan Machiavelli (pertarungan kekuatan), dan terhadap Freud dan Reich (represi yang menekan), juga terhadap pandangan kekuasaan sebagai dominasi kelas dan manipulasi ideologi (Marx). Kekuasaan tidak unlocalised karena ia tidak bertumpu pada negara, partai politik, kepemimpinan, melainkan merupakan hubungan antar komunikasi, jaringan sosial, tatanan disiplin, meresap dan melekat pada setiap perbedaan dan kehendak individu dan kelompok.
Pandangannya tentang kekuasaan seperti di atas juga berakibat pada pembongkaran kolaborasi antara pengetahuan dengan kekuasaan, seperti halnya Habermas menemukan ketakterpisahan antara ideologi dan kepentingan. Kekuasaan juga inklusif dalam kehendak untuk mengetahui. Kehendak untuk mengetahui ini terumuskan dalam pengetahuan. Kekuasaan pengetahuan terkonsentrasi dalam kebenaran-kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah. Contoh jelasnya adalah masyarakat ilmiah dituntut untuk mentaati konvensi-konvensi ilmiah karena konvensi memiliki otoritas. Disinilah terlihat adanya hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Pengetahuan dibentuk oleh kekuasaan dan kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Keduan pernyataan ini bisa dibulak-balik dengan esensi yang sama: adanya hubungan kepentingan dan fungsional antara keduanya. Sesungguhnya masih banyak pembahasan Foucault tentang kekuasaan yang tidak mungkin diuraikan semuanya disini karena keterbatasan makalah ini. Tetapi, dari uraian diatas sudah tertangkap inti gagasannya tentang kekuasaan yang tidak berpusat pada individu atau negara, tapi sesuatu yang bergerak dalam jaringan sosial. Kekuasaan tidak negatif.

Penutup
Keindahan pemikiran Foucault terletak pada ketertarikannya pada isu-isu kemanusiaan, marginalitas, ketidaknormalan, pandangannya tentang kebenaran, dan mengenai sejarah.Foucault tidak suka pemahaman sejarah yang lazim, yang berorientasi pada masa lampau, yang sudah lewat, menyangkut hal-hal yang sudah mati dan kurang bermanfaat. Bagi Foucault, sejarah itu bukanlah masa lalu melainkan bersifat masa kini (history of the present). Ia tidak tertarik dengan sejarah masa lalu yang konvensional, mengumpulkan data sebanyak-banyaknya untuk menggambarkan masa silam selengkap-lengkapnya. Foucault menghabiskan sebagian besar karirnya untuk menelusuri “kebenaran dan kekuasaan” karena keduanya mempunyai kaitan dengan sejarah pengalaman manusia. Dia terutama suka mempelajari rumah sakit jiwa dan penjara karena mereka dekat dengan struktur kekuasaan yang dikemas.



0 komentar:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 
Ping your blog, website, or RSS feed for Free