michel Foucault |
Sekilas Tentang Michel Foucault
Michel Foucault (15 October 1926-25 June
1984), filsuf Perancis dan sejarawan, Profesor Sejarah Sistem Pemikiran di
College de France dari 1970 sampai kematiannya pada tahun 1984, merevolusi
studi akademis tentang sejarah kedokteran, seksualitas, penality, etika negara
dan klasik liberal, dan memberikan kontribusi kepada filsafat bahasa dan
estetika.
Michel Foucault juga merupakan
pemikir post-post-strukturalis yang lahir di Poitiers pada tahun 1926.
Ia memulai kariernya dengan bekerja di sebuah rumah sakit jiwa dan kemudian
meluncurkan berbagai karya antara lain Les Mots et les Choses (1960) dan
L’Archeologie de Savoir (1969). Pada April 1970 ia diangkat menjadi dosen di
College de France. Ia memulai perkuliahannya dengan mengangkat judul “The Will
to Truth” yang membahas tentang “praktek-praktek diskursif” dan ia mengatakan
bahwa:
“ Kelompok-kelompok yang teratur (dalam praktek-praktek diskursif)
sekarang tidak sesuai dengan karya-karya individu. Meskipun muncul dan untuk
pertama kali menjadi jelas dalam salah satu dari mereka, ini berkembang cukup
luas di luar mereka dan sering menyatukan berbagai kelompok. Akan tetapi mereka
tidak selalu bersesuaian dengan yang biasa kita sebut ilmu atau disiplin,
meskipun untuk sementara memiliki perbatasan yang sama”.
Pemikiran Foucault Mengenai Sejarah(Historis)
Foucault tidak membahas
tentang ilmu sejarah dan filsafat sejarah. Dan ia pun lebih suka disebut
sebagai “historical observer” (pengamat sejarah). Model befikir
historisnya ini sesuai dengan apa yang sudah dilakukannya yaitu pendekatan
arkeologi seperti dalam bukunya “Archeology of knowledge.” Tetapi,
‘pengamat sejarah’ ini pun mesti difahami dalam pengertian lain yang berbeda,
bukan sejarah konvensional yang lurus. Foucault tidak suka pemahaman sejarah
yang lazim, yang berorientasi pada masa lampau, yang sudah lewat, menyangkut
hal-hal yang sudah mati dan kurang bermanfaat.
Foucault tidak secara khusus menulis tentang perkembangan sejarah,
karakteristiknya dan kekuatan dibalik perkembangan historis. Dalam konsepnya
tentang “history of the present,” ia sedikit menggagas bahwa sejarah harus
ditulis dalam perspektif masa kini dan untuk kepentingan masa kini. Selebihnya,
Foucault menulis tema-tema sentral dalam sejarah yang dilihatnya secara kritis.
Pemikirannya tentang banyak
hal dalam sejarah begitu penting, sehingga warna pemikiran Foucault bisa
diidentifikasi untuk melakukan sebuah rekonstruksi atas pemikiran sejarahnya.
Ia melihat sejarah sebagai tema-tema yang dilihat secara kritis, Tema-tema kritis
penglihatannya adalah tentang “episteme” (sistem wacana), “power” (kekuasaan),
sexuality (seks) dan lain-lain. Mengapa tema-tema ini menjadi menonjol dalam
sistem pemikiran Foucault, karena pemahamannya terhadap tema-tema itu sangat
orisinil, melabrak konvensi para filosof sebelumnya.
Bagi
Foucault, sejarah itu bukanlah masa lalu melainkan bersifat masa kini (history
of the present). Ia tidak tertarik dengan sejarah masa lalu yang konvensional,
mengumpulkan data sebanyak-banyaknya untuk menggambarkan masa silam
selengkap-lengkapnya. Dalam pembahasannya tentang present, Foucault menyebutkan
bahwa studi sejarah harus selalu memiliki keterkaitan dengan masa kini. Hal itu
jelas karena masa kini penuh dengan persoalan yang bisa dipecahkan dengan
memahami sejarahnya pada masa silam. Dengan demikian, sebenarnya menulis
sejarah itu untuk masa kini bukan untuk masa silam. Perspektfinya pun harus
masa kini karena untuk kebutuhan masa kini. Tetapi Lechte mengungkapkan
pertanyaan: “Jika masa kini mengendalikan perhatian dan minat sejarawan, apakah
tidak berbahaya yaitu masa lalu akan mengarahkan masa kini?” Atas pertanyaan
serupa ini, Foucault justru memberikan respon tentang bahayanya sejarah yang
diusung oleh penganut idealisme:
“Sejarah akan mengarahkan
masa kini bila ide tentang sebabnya (notion of cause) dominan masalah-masalah
material, dan jika kontinuitas mendominasi diskontinuitas yaitu pada level
pengungkapan praktis. Tetapi, kemudian, fakta bahwa masa kini selalu merupakan
proses transformasi yang berarti bahwa masa lalu harus terus-menerus
direevaluasi; menulis sejarah masa lalu adalah melihat sesuatu yang baru,
sebagaimana para analis melihat peristiwa baru dalam biografi seseorang dalam
rangka pengalaman psikoanalisis. Masa lalu, pada prinsipnya, mengungkapkan
makna baru dalam konteks persitiwa-peristiwa baru. Hal ini akan menghindari
kemungkinan adanya hubungan kausalitas yang sederhana yang diungkapkan antara
masa lalu dan masa kini. Bahaya historisisme muncul ketika disadari bahwa masa
lalu tidak bisa dipahami secara murni dalam konteksnya sendiri, karena itu,
sejarah selalu adalah sejarah masa kini” (Lechte 1994 : 111).
Berkaitan
dengan sejarah masa kini dan masa lalu, Foucault menggagas konsep tentang
‘geneologi’ (genealogy). Geneologi adalah sejarah yang ditulis untuk
kepentingan-kepentingan masa kini yaitu hubungannya dengan komitmen terhadap
masalah-masalah kontemporer. Sejarah perlu memasuki peristwa-peristiwa masa
kini. Dengan demikian, geneologi adalah ‘sejarah efektif’ (effective
history) yang ditulis sebagai keterlibatan kontemporer. Terinspirasi oleh
Bachelard, Canguilhem dan Cavailles, Foucault menyebutkan bahwa sejarah selalu
merupakan geneologi dan sebuah intervensi, dengan demikian kerangka pengetahuan
dan model pemahamannya pun selalu berubah (Lechte, 112). Epsitemologi adalah
yang mempelajari perubahan-perubahan ini sebagai “the grammar of knowledge
production” dan diungkap melalui kerja sains, filsafat, seni dan
literatur. Epistemologi juga adalah cara menghubungkan peristiwa-peristiwa material
dengan fikiran atau ide.
Kunci
pemikiran Foucault tentang sejarah adalah dalam istilah yang ia sebut sebagai
“epistemee” (sistem wacana). Foucault dengan kritis melihat bagaimana ilmu-ilmu
berkembang dalam sejarah secara sistemik (keseluruhan sistem berfikir) dalam
suatu periode.
Episteme akan berpengaruh terhadap ‘kebenaran’
melalui bahasa. “Discours,” “penalaran” atau “uraian” adalah bahasa yang sering
diarahkan pada kebenaran. Discours ini terutama adalah penalaran ilmiah, tetapi
bahasa sehari-hari seperti rapat-tapat, pidato politik dan diskusi-diskusi juga
merupakan ‘discours.’ Bagi Foucault, masa silam terdiri dari discourse-discours
ini yaitu lautan artikulasi, pembicaraan dan penalaran manusia, samudera kata,
kalimat dan ungkapan bahasa yang dipakai dalam berbagai bentuk situasi dan
kesempatan yang beraneka ragam dalam kehidupan sehari-hari (Ankersmit, 1987:
309).
Karakteristik Episteme
ada tiga karatkteristik episteme
menurut Foucault:
1. Episteme menentukan bagaimana
cara kita melihat dan mengalami kenyataan. Cara kita mengalami kenyataan
menentukan bagaimana kita melihat kenyataan. Kenyataan itu subyektif dan sering
tidak disadari. Dengan demikian, kenyataan itu tidak sederhana dan tidak begitu
pasti seperti yang kita duga. Ini berarti, episteme tidak disadari oleh orang
yang mengalaminya. Ketika episteme disadari, yaitu kita sadar melihat realitas
dengan perspektif tertentu, maka akan terbukalah untuk melihat kenyataan dengan
sudut pandang yang lain. Kalau ini terjadi maka menjadi dibuat-buat, kita
melihat realitas pun dibuat-buat bukan oleh kesadaran asli sesungguhnya yang
dimiliki seseorang.
2. karakter episteme yang lain adalah adanya
larangan-larangan, penyangkalan, pengabaian dan penolakan. Episteme itu
mengendalikan dan mengontrol pengetahuan manusia melalui tiga macam
pengecualian: tabu, kegilaan dan ketidakbenaran. Identitas episteme itu berada
dalam hal-hal yang tidak disadari seperti dalam larangan. Dari sinilah episteme
mengungkapan identitasnya yang asli. Karena itulah Foucault tertarik pada
fenomena kegilaan (madness), kejahatan dan perilaku seksual yang aneh. Setiap
zaman terdapat episteme-nya tersendiri tetapi tidak bisa dilacak karena tidak
disadari itu. Tetapi walaupun tidak bisa dilacak (untracable) tetapi
bisa disusun kembali dengan cara bertindak “dari luar ke dalam”: dari larangan
ke yang benar, dari tabu ke kebolehan, dari kegilaan ke normalitas.
3. dalam episteme terdapat hubungan antara
bahasa dengan realitas. Umumnya, bahasa dipandang sebagai medium yang
transparan, bahasa adalah refleksi dari kenyataan. Bagi Foucault tidak begitu.
Bahasa selalu ditentukan oleh episteme yaitu bentuk-bentuk penggunaan bahasa
yang dipakai untuk merumuskan kebenaran. “Sama seperti episteme mengatur dan
menyaring pengetahuan kita mengenai kenyataan, demikian juga bahasa. Bahasa
bukanlah medium yang transparan, bukanlah pencerminan dari kenyataan. Bahasa
adalah alat yang dipergunakan episteme, guna mengatur dan menyusun kenyataan,
sesuai dengan tabiat episteme itu sendiri” (Ankersmit, 312). Dengan demikian,
Foucault melihat jelas bahwa bahasan dan pisteme tidak pasif melainkan aktif.
Keduanya berusaha untuk merubah kenyataan bahkan menguasai kenyataan.
Pemikiran Michel Foucault Tentang Kekuasaan(power)
Pemikiran Foucault tentang kekuasaan sangat penting, karena ia merelativisir
segala sesuatu yang selama ini dianggap absolut. Ia menempatkan
kebenaran, rasio, pengetahuan, ilmu, wacana akademik, pengobatan, pendidikan,
rumah sakit, manusia dan sebagainya dalam kerangka relasi dengan
kekuasaan. Kekuasaan menurutnya bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan
relasi-relasi yang bekerja dalam ruang dan waktu tertentu.
Kekuasaan memproduksi kebenaran, karena kebenaran berada di dalam jaringan
relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran dan
menjaga kebenaran itu. Karena itu kebenaran tidak ada dengan sendirinya, dan
tidak berada di luar kekuasaan, tetapi berada dalam kekuasaan itu. Karena
itu, kekuasaan adalah kebenaran.
Menurutnya
kekuasaan sesungguhnya tidak sesederhana seperti apa yang dikembangkan dalam
ilmu-ilmu sosial selama ini. Bagi Foucault kekuasaan itu menyebar dimana-mana
(“power is omnipresent”), meresap dalam seluruh jalinan relasi-relasi sosial,
kekuasaan tidak berpusat pada individu-individu melainkan bekerja, beroperasi
dalam konstruksi pengetahuan, dalam perkembangan ilmu dan pendirian-pendirian
lembaga. Karena ia menyebar dan bekerja mengendalikan banyak orang, komunitas,
kelompok, kepentingan dan sebagainya, maka sifatnya menjadi produktif –bukan
represif— dan memiliki kekuatan menormalisasikan hubungan-hubungan masyarakat.
Menurut Foucault, hakekat kekuasaan telah berubah. Kekuasaan tidak lagi berada
di tangan satu orang atau lembaga, tetapi tersebar luas dalam masyarakat dan cenderung
ter-sembunyi. Perubahan itu disebabkan oleh berubahnya fondasi kekuasaan.
Dahulu fondasi kekuasaan adalah kehendak, baik kehendak raja atau rakyat, maka
kekuasaan didapat me-lalui kumpulan kehendak, kesepakatakan, perserikatan, dan
partai politik. Kini, kekuasaan tidak lahir dari kehendak, tetapi melalui
pengetahuan. Pengetahuan tidak netral, tetapi politis, menunjang
dan memberi kekuasaan. Tujuan ilmu pengetahuan sosial adalah mengetahui
dan mengendalikan tingkah laku manusia. Foucault memahami ilmu pengetahuan
sosial sebagai alat penguasaan manusia atas manusia, artinya untuk
mengendalikan dan mempengaruhi putusan (tubuh dan jiwa orang lain). Tubuh
dilihat sebagai mesin hidup sebagai sumber daya dan tenaga kerja yang perlu
dikendalikan dan dimanfaatkan guna kemajuan.
Dengan
demikian, kekuasan bukanlah sebuah represi. Secara tidak langsung, pandangan
Foucault ini adalah kritik terhadap Hobbes dan Locke (bahwa kekuasaan
dijalankan melalui kekerasan atau kontrak sosial), terhadap Marx dan Machiavelli
(pertarungan kekuatan), dan terhadap Freud dan Reich (represi yang menekan),
juga terhadap pandangan kekuasaan sebagai dominasi kelas dan manipulasi
ideologi (Marx). Kekuasaan tidak unlocalised karena ia tidak bertumpu
pada negara, partai politik, kepemimpinan, melainkan merupakan hubungan antar
komunikasi, jaringan sosial, tatanan disiplin, meresap dan melekat pada setiap
perbedaan dan kehendak individu dan kelompok.
Pandangannya
tentang kekuasaan seperti di atas juga berakibat pada pembongkaran kolaborasi
antara pengetahuan dengan kekuasaan, seperti halnya Habermas menemukan
ketakterpisahan antara ideologi dan kepentingan. Kekuasaan juga inklusif dalam
kehendak untuk mengetahui. Kehendak untuk mengetahui ini terumuskan dalam
pengetahuan. Kekuasaan pengetahuan terkonsentrasi dalam kebenaran-kebenaran
pernyataan-pernyataan ilmiah. Contoh jelasnya adalah masyarakat ilmiah dituntut
untuk mentaati konvensi-konvensi ilmiah karena konvensi memiliki otoritas.
Disinilah terlihat adanya hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan.
Pengetahuan dibentuk oleh kekuasaan dan kekuasaan menghasilkan pengetahuan.
Keduan pernyataan ini bisa dibulak-balik dengan esensi yang sama: adanya
hubungan kepentingan dan fungsional antara keduanya. Sesungguhnya masih banyak
pembahasan Foucault tentang kekuasaan yang tidak mungkin diuraikan semuanya
disini karena keterbatasan makalah ini. Tetapi, dari uraian diatas sudah
tertangkap inti gagasannya tentang kekuasaan yang tidak berpusat pada individu
atau negara, tapi sesuatu yang bergerak dalam jaringan sosial. Kekuasaan tidak
negatif.
Penutup
Keindahan pemikiran
Foucault terletak pada ketertarikannya
pada isu-isu kemanusiaan, marginalitas,
ketidaknormalan, pandangannya tentang
kebenaran, dan mengenai sejarah.Foucault tidak suka pemahaman sejarah yang lazim,
yang berorientasi pada masa lampau, yang sudah lewat, menyangkut hal-hal yang
sudah mati dan kurang bermanfaat. Bagi Foucault, sejarah itu bukanlah
masa lalu melainkan bersifat masa kini (history of the present). Ia tidak
tertarik dengan sejarah masa lalu yang konvensional, mengumpulkan data
sebanyak-banyaknya untuk menggambarkan masa silam selengkap-lengkapnya. Foucault menghabiskan sebagian besar karirnya untuk menelusuri
“kebenaran dan kekuasaan” karena keduanya mempunyai kaitan dengan sejarah
pengalaman manusia. Dia terutama suka mempelajari rumah sakit jiwa dan penjara
karena mereka dekat dengan struktur kekuasaan yang dikemas.
0 komentar:
Post a Comment